Lempung dikathoki dalam bahasa jawa atau dalam bahasa Indonesia tanah liat/lempung pakai celana. Kalau kita sadar kalimat tersebut mengandung makna yang sangat dalam. Kalimat tersebut saya dengar dari wejangan seorang kiyai dari Plosorejo, Gondang, Sragen yaitu Abah Syarif Hidayatullah. Saya kenal pertama kali pada tahun 1995 pada awal saya masuk ke kota Solo. Pertama kali saya mengikuti pegajian dan datang ke pondok pesantren Nurul Huda sangat terkesan dengan kesederhanaannya, beliau tidak pernah menampakan atau memakai pakaian layaknya seorang kiyai / ustadz pada umumnya, pergi kemana-mana dengan ciri khasnya pakai kaos oblong tanpa alas kaki alias nyeker, pakai topi laken atau topi koboi, rumah dan tempat sholat serta tempat pengajian terbuat dari gubug kata orang Brebes atau gedheg, sedangkan untuk kamar tidur para santri sudah tembok permanen. Pada waktu saya mengikuti pengajian pertama kali hanya diikuti oleh sekitar 50-75 orang saja, pengajian dilaksanakan rutin setiap Jumat pahing dan Minggu legi sampai sekarang, peserta pengajian sekarang sudah mencapai ribuan orang yang datang dari berbagai kota. Pada saat ini tempat pengajian sudah menggunakan masjid dengan kapasitas kurang lebih 2000 orang. Yang menarik dari pondok Nurul Huda adalah menampung santri-santri yang berasal dari kalangan orang tidak mampu dan biasanya orang-orang bermasalah dalam kehidupan sosialnya.

Abah Syarif dalam setiap tausiahnya selalu mengisi dengan kalimat yang lugas, tegas tanpa ditutup-tutupi dan tidak takut dengan siapapun. Prinsip hidup sederhana dan selalu berusaha berbuat untuk menguntungkan orang lain minimal tidak merugikan orang lain selalu diingatkan dalam tausiahnya.

Lempung dikathoki adalah mengingatkan kita pada asal-usul manusia yang berasal dari tanah liat, supaya dalam menjalani kehidupan baik di masyarakat di kantor atau dalam keluarga selalu ingat dengan asal kita , tidak boleh sombong / takabur.

SOMBONG, takabbur, atau merasa diri besar adalah salah satu penyakit hati yang sangat berbahaya. Kita harus berhati-hati dengan persoalan ini. Sebab kesombongan inilah yang menyebabkan setan terusir dari surga dan kemudian dikutuk oleh Allah selamanya. Hadirnya rasa takabbur sangat halus sekali. Banyak orang telah merasa tawadhu (rendah hati) padahal dirinya di mata orang lain sedang menunjukkan sikap takabburnya. Tentang sikap takabbur ini Rasulullah SAW bersabda: Tidak akan masuk surga siapa yang di dalam hatinya ada kesombongan walau seberat debu. (HR Muslim). Allah benar-benar mengharamkan surga untuk dimasuki orang-orang takabbur. Takabbur hanya layak bagi Allah yang memang memiliki keagungan sempurna. Sedang seluruh makhluk hanya sekadar menerima kemurahan dari-Nya.

Marilah kita berhati-hati dari bahaya kesombongan ini. Jika penyakit ini datang pada kita, kita akan sengsara. Langkah kehati-hatian ini bisa dimulai dengan mengenali ciri-ciri kesombongan. Rasulullah SAW bersabda: Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia. (HR Muslim). Jika dalam hati kita ada satu dari dua hal ini, atau kedua-duanya ada, itu pertanda kita telah masuk dalam deretan orang-orang sombong.

Dalam penerapan kita sebagai abdi negara (PNS) khususnya, kesombongan juga menjadi penghalang bagi terciptanya pelayanan yang baik kepada mahasiswa, rekan sejawat ataupun masyarakat. Dengan status kita sebagai PNS kadang merasa diri kita lebih baik dari yang lainnya, sehingga dalam memberikan pelayanan tidak sepenuh hati bahkan sering dengan marah-marah. Hal ini terjadi karena kita lupa dengan asal kita yang berupa seonggok tanah liat yang dikasih celana (Lempung dikathoki….) dan kebetulan oleh Allah diangkat derajatnya di dunia lebih dari derajat orang lain. Marilah kita sebagai PNS dilingkungan UNS mendukung program UNS menuju World Class University dengan berusaha menghilangkan kesombongan dari dalam hati kita agar dapat memberikan pelayanan yang baik kepada klien.